TUGAS REVIEW JURNAL
KELAS : 2EB05
NAMA KELOMPOK : Ade Irene Febri (20210115)
Dimas Agung Prayogi (22210019)
Levian (24210006)
Rezky Izhardhi N (25210835)
Rina Rismawati (25210972)
Penyelesaian Sengketa
Ekonomi
Syari’ah Sebagai Sebuah
Kewenangan
Baru Peradilan Agama
Oleh: Rifyal Ka’bah
ABSTRAK
Hukum islam sebagai hukum yang hidup di indonesia telah berkembang dalam era ketergantungan. Pengembangan hukum islam menunjukan misalnya dalam hal yurisdiksi pengadilan islam. Keputusan pengadilan syariah berangkat dari fiqih, dan pelaksanaanya harus didukung oleh pengadilan negara. P3ara hakim dari pengadilan islam membimbing berdasarkan syariah tangan tradisional mereka tidak mendidik berdasarkan hukum sekuler. selain itu, organisasi pengadilan islam tidak bawah mahkamah agung. Salah satu perubahan dari pengadilan islam baru-baru ini memperbesarnya yurisdiksi menurut UU No. 3 tahun 2006 khususnya mengenai penanganan kasus ekonomi islam di indonesia. Artikel berikut ini mencoba untuk menyelidiki yang merubah dan menantang pengadilan islam sebagai salah satu indonesiamodern masa depan.
PENDAHULUAN
Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di
Indonesia mengalami perkembangan yang cukup berarti dalam masa kemerdekaan, antara
lain dapat dilihat dari kewenangan yang dimiliki oleh Peradilan Agama (PA)
sebagai peradilan Islam di Indonesia. Dulunya, putusan PA murni berdasarkan
fiqh para fuqaha’, eksekusinya harus dikuatkan oleh Peradilan Umum, para
hakimnya hanya berpendidikan
Syari’ah tradisional
dan tidak berpendidikan hukum, organisasinya tidak berpuncak ke Mahkamah Agung,
dan Iain-lain. Sekarang keadaan sudah berubah, salah satu perubahan mendasar akhir-akhir
ini adalah penambahan kewenangan PA dalam UU Peradilan Agama yang baru, antara
lain bidang ekonomi Syari’ah. Tulisan ini membicarakan perubahan tersebut dan
tantangan yang dihadapi PA di masa depan sebagai sebuah kekuasaan kehakiman
yang modern di Indonesia.
Pembahasan
·
Ekonomi Syari’ah
Perhatian kita
sebagai hakim dan lembaga peradilan adalah terhadap ilmu hokum ekonomi dari
sudut pandangan Islam atau lembaga keuangan dalam Islam. Yang dimaksud dengan
kata syari’ah dalam ekonomi syari’ah sebenarnya adalah fiqh para fuqaha’. Hukum
ekonomi atau lembaga keuangan syari’ah di Indonesia tampak sekali berhubungan
dengan fiqh para fuqaha”. Di bidang perbankan syari’ah, misalnya, memang telah
disinggung dalam beberapa pasal undang-undang seperti UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004. Namun
belum ada undang-undanng bahkan hukum yang pasti hingga sekarang untuk ekonomi
syari’ah ini .
·
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
Dewan
Syariah Nasional (DSN) adalah sebuah institusi di bawah Majelis Ulama Indonesia
yang dibentuk pada awal tahun 1999. Lembaga ini “memiliki kewenangan untuk
menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang
melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah.”6 MUI dipilih
barangkali karena lembaga inilah pertama kali yang melahirkan bank Syari’ah. Salah
satu masalah dalam penerapan fatwa DSN adalah tentang sanksi terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh bank Syari’ah, terutama bila bank Syari’ah
tertentu tidak berjalan sesuai dengan fatwa DSN dan DPS yang ada di setiap bank
Syari’ah.
·
Revisi UU Peradilan Agama
Pasal 49 huruf (i) Revisi UUPA menyatakan bahwa PA bertugas dan berwenang.
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam bidang ekonomi syari’ah.kegiatan
usaha menurut prinsip syari’ah meliputi:
a. bank
syari’ah;
b. lembaga
keuangan makro syari’ah;
c.
asuransi syari’ah;
d.
reasuransi syari’ah;
e.
reksadana syari’ah;
f.
obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g.
sekuritas syari’ah;
h.
pembiayaan syari’ah;
i.
pegadaian syari’ah;
j. dana
pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis
syari’ah.
Pengelompokan ekonomi syari’ah seperti di atas sebenarnya tidak tepat.
Huruf (b), (c), (d), (e), (f), (g) dan (h) revisi undang-undang tersebut, yaitu
tentang waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq dan shadaqah, adalah juga
bagian dari ekonomi syari’ah.
·
Pengalaman Badan Atbitrase Syari’ah Nasional
Pengalaman
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dalam menyelesaikan sengketa antara
bank Syari’ah dan nasabahnya dapat dijadikan pelajaran bagi Peradilan Agama
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi Syari’ah di masa depan.
Sebuah
hasil penelitian S3 ilmu hukum di Universitas Sumatera Utara menyimpulkan bahwa
sengketa antara bank Syari’ah tidak murni diselesaikan berdasarkan prinsip
Syari’ah (fiqh), tetapi juga mengikutsertakan pasal-pasal KUHPerdata. Hal itu
terjadi karena tidak tersedianya hukum islam dan tenaga ahli yang menguasai hukum
arbitrase islam.
Melihat kasus-kasus arbitrase Syari’ah yang diajukan kepada
BASYARNAS, tampak dengan jelas bahwa persoalan inti adalah tentang akad atau
kontrak antara penyedia dana sebagai investor, bank sebagai pengelola dana, dan
nasabah sebagai pengguna dana, atau antara bank sebagai investor dan sekaligus
juga sebagai pengelola dana di satu pihak dan nasabah sebagai pengguna dana di
pihak lain. Kontrak yang paling umum dilakukan adalah akad miidhdrabah, akad
musyarakah, akad murabohah dan Iain-lain yang selama ini diatur secara luas
dalam fiqh berbagai mazhab. Tidak
mengherankan bila akad pembiayaan tersebut dibuat berdasarkan dun hukum, yaitu
liqh Islam sebagai syari’ah atau hukum Islam dan hokum perjanjian KUHPerdata
warisan Belanda. Kemungkinan sengketa tersebut diatur berdarsakan hokum perjanjian
dan pasa-pasal tersebut yang menjadi konstitusi bagi pihak yang terlibat dalam
perjanjian.
Adanya akad atau kontrak sebagai dasar hukum ekonomi Syari’ah adalah
untuk menghindari hal-hal yang dilarang Islam dalam transaksi ekonomi, terutama
sekali adalah larangan riba, monopoli, wanprestasi dan Iain-lain.
Sejak zaman jahiliyah telah banyak penantang yang menyamakan antara
transaksi jual-beli dan transaksi berdasarkan riba, tetapi Qur’an menyatakannya
berbeda. Transaksi pertama dibolehkan, tetapi yang kedua diharamkan. Larangan
tersebut antara lain karena sahamnya dalam meningkatkan sifat egoisme dalam
diri manusia, memperjarak jurang antara orang kaya dan miskin dan lain-lain.12 Untuk
menghindari transaksi-transaksi yang dilarang Islam, maka transaksi keuangan
syari’ah berdasarkan kontrak bagi hasil dengan nisbah yang disepakti dan
sama-sama menanggung resiko untung atau rugi.
KESIMPULAN
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal seperti berikut:
A.
Ekonomi Syari’ah di luar Indonesia terkenal
dengan nama ekonomi Islam, yaitu ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip Syari’ah
yang berbeda dari ekonomi konvensional yang berkembang di dunia dewasa ini yang
hanya berdasarkan nilai-nilai sekular yang terlepas dari agama.
B.
dibahas dalam dua disiplin ilmu, yaitu ilmu
ekonomi Islam dan ilmu hukum ekonomi Islam. Ekonomi Syari’ah yang menjadi salah
satu kewenangan baru Peradilan Agama berdasarkan revisi UU PA. Kewenangan
tersebut menyangkut kewenangan mengadili 11 jenis perkara yang dijelaskan oleh
pasal 49 huruf (I).
C.
belum ada undang-undang khusus yang mengatur
tentang hukum acara dan hukum materiil bank Syari’ah selain beberapa pasal UU
perbankan dan Bank Indonesia serta PB1 dan SEBI. Peraturan yang ada berdasarkan
fiqh parafu qaha” dan sebagian kecilnya terutama masalah perbankan yang
mengandalkan fatwa terbitan DSN.
D.
Melihat kasus yang diajukan Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (BASYARNAS) sengketa
antara bank syari’ah dan nasabah, semuanya berdasarkan akad atau kontrak antara
kedua belah pihak, baik akad mudharabah, musyarakat atau murabahah. Dalam
penyelesaiannya menggunakan dua hukum yang berbeda antara DSN dan pasal-pasal
KUH perdata. Hal itu dilakukan karena ketiadaan peraturan undang-undang tentang
perbankan syari’ah, sebelum adanya undang-undang ekonomi syari’ah secara khusus
maka kemungkinan besar para hakim PA akan mengadili perkara ekonomi syari’ah
berdasarkan hukum perjanjian, baik berdasarkan fiqh para fuqaha’ maupun KUH Perdata.
REFERENSI
0 komentar:
Posting Komentar